Di sebuah desa hampir semua penduduknya adalah petani. Mereka rata-rata petani sederhana yang tidak mengenal alat-alat pertanian modern sehingga setiap menggarap sawah, mereka hanya menggunakan cangkul. Masing-masing mencangkul sawahnya tidak seorang sendiri, tetapi bergotong royong mengerjakan bersama-sama. Setelah satu sawah selesai mereka pindah ke sawah lainnya sampai semua sawah milik mereka selesai dicangkul. Yang menarik pada waktu mencangkul bersama-sama, mereka mengerjakannya sehati sepikir dengan sukacita sehingga pekerjaan cepat selesai dan rata hasilnya. Tidak ada yang mencela perkerjaan petani yang lain, tetapi saling menolong dan membantu yang lemah. Demikian pula dilakukan waktu menanam, memelihara dan panen, sehingga setiap orang yang melihat berkata “indahnya kebersamaan”.
Tuhan ingin setiap orang percaya hidup saling menolong (ayat 3) dengan sehati sepikir (ayat 2), karena tanpa rasa sehati sepikir, pertolongan yang diberikan menjadi beban dan terpaksaan. Sukacita selalu ada dalam setiap kebersamaan (ayat 4). Agar terjadi saling menolong harus ada kebaikan hati yang ditampilkan (ayat 5). Tidak ada rasa kuatir dalam sebuah komunitas karena selalu bersama mengucap syukur (ayat 6). Bila kebersamaan diwarnai dengan hal-hal tersebut di atas, maka damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran (ayat 7).
Mungkin saat ini kita sulit untuk membangun kebersamaan karena takut tersakiti atau menyakiti, marilah belajar dari petani-petani sederhana di atas, mulailah tumbuhkan sehati sepikir dengan orang lain sehingga kita dapat dengan sukacita memberikan bantuan pada mereka. Buatlah komunitas yang saling membangun dengan tanpa kuatir. Kebersamaan yang diwarnai ucapan syukur dan saling menunjukkan kebaikan akan mendatangkan damai sejahtera.
Post A Comment:
0 comments: